Kamis, 17 Februari 2011

Mengapa Bangsa Asia Kalah Kreatif dengan Bangsa Barat?

Mungkin beberapa dari pembaca blog saya pernah mendengar kata tersebut atau bahkan membaca bukunya. Malam ini, setelah berdiskusi sebentar dengan salah seorang staff di kampus saya mengenai industri kreatif di Indonesia dan di Australia, beliau menunjukkan saya sebuah buku yang membuat saya terkesima. Buku berjudul “Why Asians Are Less Creative Than Westerners” karya Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland ini memang dianggap kontroversial karena
isinya yang sedikit memojokkan bangsa Asia. Namun apabila kita cermati beberapa poin penting yang terkadung di dalamnya, maka kita sebagai bangsa Asia akan membuka mata bahwa terdapat kebiasaan-kebiasaan bangsa Asia yang kian hari kian menggerus daya kreativitas kita. Adapun poin-poin tersebut antara lain :

1. Bagi kebanyakan orang Asia, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, harta dan lainnya). Passion (rasa cinta terhadap sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreatifitas kalah populer oleh dokter, lawyer, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seseorang untuk memiliki kekayaan banyak.

2. Bagi kebanyakan orang Asia, banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada cara memperoleh kekayaan itu. Tidak heran bila banyak orang Asia yang menyukai cerita, novel, sinetron, atau film yang bertema “orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung mendapat harta karun, atau jadi istri pangeran tau sejenisnya”. Tidak heran pula bila perilaku koruptif pun ditolerir/diterima sebagai sesuatu yang wajar.

3.  Bagi orang Asia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis “kunci jawaban”, bukan pada pengertian ujian nasional, tes masuk perguruan tinggi dll semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus-rumus ilmu pasti dan ilmu hitung lainnya bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus-rumus itu.

4. Karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah Asia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi “Jack of all trades, but monster of none” (tahu sedikit tentang banyak hal, tapi tidak menguasai apapun).

5. Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Asia bisa menjadi juara dalam olimpiade fisika dan matematika. Tapi, hampir tidak ada orang Asia yang memenangkan hadiah nobel atau hadiah internasional lainnya yang berbasis innovasi dan kreativitas.

6. Orang Asia takut salah dan takut kalah. Akibatnya sifat eksploratif sebagai upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko kurang dihargai.

7. Bagi kebanyakan bangsa Asia, bertanya berarti bodoh, makanya rasa penasaran tidak mendapatkan tempat dalam proses pendidikan di sekolah.

8. Karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir peserta mengerumuni guru/narasumber untuk meminta penjelasan tambahan.

Saya yakin kedelapan poin di atas sudah jamak ditemui di kehidupan bangsa Asia seperti kita ini. Yang perlu kita renungkan adalah apakah kebiasaan-kebiasaan buruk itu tetap kita biarkan saja menggerogoti daya kreativitaf bangsa kita atau segera kita berantas?
Berlanjut ke postingan berikutnya :)

6 komentar:

  1. ditambahin di mananya bang "beratap"? :)

    BalasHapus
  2. hahaha... betul betul betul...
    senangnya memang hal yang instan, bisa langsung dinikmati.. :D

    ayoo kita mulai dari diri sendiri, dari yang paling mudah diubah...

    Salam Sukses Penuh Berkah Selalu,

    Wuryanano
    Inspirational Blog - Support Your Success

    Entrepreneur Campus - Support Your Future

    BalasHapus
  3. lots to work on this things..
    moga2 klo udah tau masalahny, kita bisa cari solusi bersama..
    nice blog..

    BalasHapus
  4. kalau boleh ikut berdiskusi... apakah penelitian di dunia harus memiliki acuan penelitian sebelumnya seperti di Indonesia? yang saya lihat justru mematikan kreativitas dan keinginan mengeksplorasi suatu fenomena, karena mereka harus mencari penelitian yang sama bahkan dengan judul yang sama. pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana nasib mereka yang ingin eksplorasi sesuatu yang baru ketika memang tidak ada penelitian terdahulu yang pernah meneliti itu? (sedikit curahan hati mahasiswa tingkat akhir) =)

    BalasHapus
  5. saya sepertinya juga tidak sependapat dengan anda perihal penelitian baru yang HARUS mengacu pada penilitian sebelumnya, karena setahu saya tinjauan pustaka dalam sebuah metode penelitian gunanya untuk lebih memperkuat isi penelitian kita. Lantas apakah jika sebuah penelitian tanpa tinjauan pustaka kredibilitasnya diragukan? belum tentu juga, asal data-fakta kita perihal variabel-variabel yang kita gunakan valid lantas apa yang perlu dipermasalahkan?

    untuk pertanyaan kedua, saya kira si peneliti tersebut harus bekerja esktra keras untuk dalam "bab pembahasannya" karena pada "bab tinjauan pustakanya" kosong

    BalasHapus