Senin, 07 Maret 2011

NIKE : Branding is everything


Saya yakin sebagian besar dari kita yang cukup lama berkutat di dunia marketing paham bahwa salah satu cara terampuh untuk meningkatkan citra produk atau jasa kita adalah dengan cara mendapatkan dukungan dari para pesohor atau yang biasa di sebut sebagai brand ambassador. Tahukah anda siapakah perusahaan yang paling pandai dalam mendompleng image pesohor demi meningkatkan citra produknya? Jawabanya sudah pasti pemilik tagline “just do it” Nike.


Pada tahun 1962, Phil Knight, bergelar kesarjanaan di bidang akuntansi dan pelari jarak menengah dari Universitas Oregon, bepergian ke Jepang. Di sana, dililhami essay ujian yang pernah ditulisnya mengenai sepatu-sepatu yang diimpor, ia membuat kesepakatan dengan salah satu pabrik sepatu bernama Onitsuka Tiger (belakangan dikenal dengan nama Asics) untuk menjadi distributor merek tersebut di 13 negara bagian di USA. Di bawah perusahaan bernama Blue Ribbon Sports, Knight awalnya memesan 200 pasang sepatu, membayar USD 3,33 per pasang. Sekembalinya ia ke USA, ia bermitra dengan mantan pelatih larinya, Bill Bowerman, masing-masing menyumbang USD 5.000 untuk usaha ini. mereka menjual sepatu tiger seharga USD 6.95 per pasang dari bagasi Plymouth Valiant hijau milik Knight yang diparkir di acara-acara atletik dan dari sebuah toko kecil di samping Pink Bucket Tavern di Portland; pada Mei 1964, mereka menghasilkan USD 8.000. setelah itu Knight menyewa sales full time bernama Jeff Johnson – juga seorang pelari – yang belakangan memunculkan nama Nike setelah nama itu datang kepadanya dalam mimpi. Nike merupakan dewi kemenangan dalam mitologi Yunani.

 
Sementara itu, Bowerman menghabiskan waktu luangnya berkesperimen dengan desain-desain sepatu buatannya sendiri, terobsesi menemukan cara memangkas sepersekian detik waktu yang ditempuh para pelarinya. Pada 1970, konon ia tak sengaja menuangkan karet ke kuali waffle istrinya dan melahirkan sol sepatu jenis baru yang ringan, yang memberi bantalan dan atraksi luar biasa pada para atlet. Pada 1971, Knight dan Bowerman mengambil ide Johnson soal Nike, dan sejak saat itulah nama bisnis mereka menjadi Nike. Logo sepatu yang berupa tanda centang dibuat oleh seorang mahasiswi desain yang mereka bayar USD 35 (walaupun belakangan ini ia dihadiahi saham Nike). Pada 1974 mereka meluncurkan waffle trainer , yang kelak menjadi sepatu latihan paling laris di USA.


Knight dan Bowerman memang berbakat dalam hal penjualan. Setelah seleksi marathon pada 1972, mereka mengumumkan bahwa empat dari tujuh pelari pertama yang menyentuh garis finis menggunakan sepatu mereka (dengan mengabaikan fakta bahwa tiga teratas menggunakan Adidas), sejak saat itulah berita Nike menjadi buzz marketing (perbincangan) di kalangan olahragawan. Mengingat kesuksesan itu, mereka berinisiatif untuk membujuk para pesohor olahraga untuk menggunakan produknya. Di mulai tahun 1973 dimana mereka membujuk pelari pemenang rekor Steve Prefontaine untuk memakai sepatu mereka; lalu pada 1974, tanpa dibayar, Jimmy Connors memenangi Wimbledon dan US Open dengan menggunakan sepatu Nike. Bisa anda bayangkan, setelah momen ini sepatu Nike menjadi semakin meledak di pasaran. Pada 1978, John McEnroe membubuhkan tanda tangannya dengan bayaran yang sangat fantastis untuk saat itu USD 100.000, lalu menggeser Adidas dan memulai derapnya sebagai merek sepatu nomor satu di USA. Tak lama setelah itu, Nike masuk ke pasar saham, mengubah beberapa keluarga – yang masing-masing menanamkan USD 5.000 pada awalnya – menjadi sekumpulkan milliuner.


Laju Nike terhambat pada 1986 ketika penurunan penjualan memaksa mereka men-PHK staf-nya untuk pertama kalinya. Pesaing lainnya, Reebok berhasil menyodok ke peringkat pertama berkat sepatu aerobik lembut untuk wanita dimana Nike salah meramalkannya. Si jago marketing, Rob Strasser mengeluarkan maklumat publik bahwa Nike tidak akan membuat sepatu untuk aerobik. Untungnya Nike – dan Strasser – berhasil meramalkan tren lain yang kelak terbukti bertahan lebih lama. Mereka merayu pebasket debutan dan belum ternama dan baru lulus dari University of North Carolina bernama Michael Jordan. Menurut sebuah laporan dari New York Times “The Selling of Michael Jordan”, beberapa minggu sebelum Michael Jordan bermain bersama Chicago Bulls pada 1984, Rob bertemu dengan agen Jordan untuk mendiskusikan bagaimana cara terbaik untuk memaksimalkan produk-produk sepatu basket Nike. Setelah membahas lini produk sepatu baru Nike berbantalan udara, mereka menelurkan sebuah konsep “Air Jordan”.


Sejalan dengan melesatnya karir jordan, sepatu yang didesain khusus untuknya – Air Jordan – laris manis di pasaran sebagai sebuah item fashion, khususnya setelah kontroversi yang melingkupi model pertama, sepasang sepatu merah dan hitam yang dilarang karena tidak cocok dengan warna seragam Bulls.


 Pada akhir 1980-an, Nike memiliki resep yang tak terkalahkan. Produk-produk berteknologi tinggi yang mengucurkan air liur, dukungan para olahragawan dari berbagai cabang, merek dan logo yang dapat dikenal dengan mudah, serta sebuah slogan yang mudah diingat “Just do it”.


Mengikuti kesuksesan “the Selling of Michael Jordan”, Nike tak henti-hentinya menarik perhatian pesohor untuk memakai produknya. Sebutlah nama-nama seperti Tiger Woods, Mia Hamm, Freddie Adu hingga Lance Armstrong. Bahkan mereka berhasil mendapat dukungan dari Manchaster United yang tak lain adalah klub papan atas Premier League. Berkat kesuksesannya dalam mendapat dukungan dari para pesehor itu, Nike tercatat sebagai satu dari 10 merek paling di ingat di seluruh dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar