Sabtu, 30 Juli 2011

Akankah Trend Ramah Lingkungan hanya Karbitan Belaka?


Ketika akan menulis opini ini, saya teringat pernah melhat video pidato remaja bernama Savern Suzuki yang menyerukan tentang pentingnya penyelamatan lingkungan di depan dewan PBB pada tahun 1992. Dalam pidatonya, remaja asli Kanada itu mengutuk keras upaya para kapitalis industri yang membabat banyak hutan dan menghancurkan alam demi masa depan yang “katanya” lebih baik.


Akhir-akhir ini, tepatnya setelah UNFCCC (United Nation for Climate Change Conference) dihelat di Bali beberapa tahun yang lalu, segala media di seluruh dunia kembali menyorot permasalahan ini. Salah satu permasalahan lingkungan yang tak luput dari sorotan adalah pembabatan hutan di pesisir Amazon, Brazil. Pembabatan hutan disana memang terjadi secara besar-besaran. Sumber dari pemerintahan Brazil mengumumkan bahwa hutannya bakal dua kali lebih gundul tiap tahunnya. Sedangkan seorang sumber dari majalah TIME menggambarkan kejadian itu dengan kiasan yang amat dramatis, “seperti menyaksikan sebuah pemerkosaaan masal”.

Yang menarik, para industrialis Brazil beranggapan bahwa pembabatan hutan itu dilakukan atas nama usaha penyelamatan bumi. Pembabatan hutan itu dilakukan untuk membuka lahan baru agar dapat ditanami bahan baku biofuel, seperti kacang kedelai, jagung, tebu dan kelapa sawit. Kasus ini juga tak jauh beda dengan Indinesia. Pembabatan hutan untuk lahan kelapa sawit dilakukan untuk mendapatkan bahan bakar alternatif biofuel. Menurut Wetlands International, Akibat ulahnya ini, Indonesia berhasil terjungkal dari peringkat 21 ke peringkat ketiga diantara Negara-negara yang “nafasnya” berbau emisi karbon. Pembabatan hutan untuk dunia industry. hendaknya dikaji ulang. Bukan malah banyak untuknya, hal ini malah menambah kontribusi emisi karbon di udara.

Berbagai macam produk ramah lingkungan bermunculan menawarkan solusi alternatif untuk membuat bumi tetap hijau. Sebut saja OAT Shoes yang bisa ditanam kembali hingga tumbuh pohon, WWF Doc yang membuat kita berpikir ulang untuk mencetak kertas secara boros, hingga Sekolah Internasional Green School yang seluruh aspeknya diciptakan untuk mengajarkan anak didiknya mencintai alam.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah akankah trend ramah lingkungan ini hanya karbitan belaka? Seiring dengan maraknya media menyoroti kerusakan hutan. Saya pribadi sangat senang dengan makin banyaknya produk ramah lingkungan yang hadir. Tapi masalahnya, apakah produk ramah lingkungan itu dapat bersaing dengan produk non ramah lingkungan? Karena selama ini produk non ramah lingkungan lebih banyak menyebar di dalam masyarakat kita daripada produk ramah lingkungan.

Berkaca pada permasalahan diatas, mungkin ada baiknya kita sebagai konsumen lebih tanggap terlebih dahulu untuk mendukung produk-produk ramah lingkungan ini. Sehingga jangka hidup produk-produk ramah lingkungan ini mampu bertahan lama. Jika sudah bertahan lama, maka gaya hidup ramah lingkungan bukan hanya akan menjadi trend saja, tapi juga kebiasaan sehari-hari.

*Artikel ini juga dimuat di Brunch Project

1 komentar:

  1. Artikel yang bagus. Kita sebagai masyarakat awam juga harus melestarikan lingkungan, dimulai dari hal-hal kecil. Misalnya, sebisa mungkin tidak menggunakan AC. Mematikan lampu dan barang-barang elektronik lainnya jika tidak digunakan. Sebisa mungkin menggunakan kendaraan yang ramah lingkungan seperti sepeda atau sepeda motor. Dan bagi para perokok, segera hentikan merokok secepatnya.... hehehe

    BalasHapus