Jumat, 25 Februari 2011

Figure : Howard Schultz & Starbuck

“Dengan perusahaan yang terus tumbuh, anda tidak boleh tertinggal di belakang” Howard Schultz




Howard Schultz lahir dan tumbuh besar di sebuah proyek perumahan publik di Brooklyn, New York, pada akhir 1950-an. Ia selalu ingin melepaskan diri dari kehidupan seperti yang dijalani kedua orang tuannya – pekerjaan tanpa masa depan, upah murah, tidak ada asuransi kesehatan, tanpa kepastian kerja, apalagi kepuasan kerja. Schultz muda mengedarkan surat kabar, bekerja di kantin-kantin dan pabrik-pabrik pemintalan, dan bahkan menyamak kulit hewan untuk sebuah perusahaan kulit di Manhattan.

Berkat beasiswa olah raga – satu-satunya jalan memperbaiki taraf hidup – ia kuliah di Universitas Northern Michigan. Ia bukanlah seorang pemain rugby ala Amerika yang baik sehingga setelah lulus dia bekerja di Xerox, yang terkenal akan training-nya yang hebat. Schultz terbukti cakap dan pada usia awal 20-an ia telah mendapat cukup banyak uang saat bekerja untuk perusahaan peralatan rumah tangga asal Swedia, Hammarplast, di New York.

Di Hammarplast-lah ia pertama kali berkenalan dengan perusahaan ritel biji kopi kecil Starbuck, lalu pada tahun 1981 ia terbang ke Seattle. Ritel biji kopi Starbuck didirikan oleh Gerald Baldwin, Zev Siegl, dan Gordon Bowker. Bagi Schultz pertemuan itu bagai cinta pada pandangan pertama, walau ia sama sekali tidak terlibat sampai 1982, setelah ia menghabiskan 12 bulan meyakinkan para pemilik Starbuck bahwa ia dapat “meledakkan” Strabuck. Schultz bergitu jatuh cinta pada bisnis ini sampai-sampai ia meninggalakan kehidupan mapannya di Manhattan dan pindah ke Seattle yang berangin. Ia bersedia menerima potongan gaji dan ditawari sebagian kecil saham dalam perusahaan.

Schultz mencetuskan konsep cafe bagi Starbuck setelah kunjugannya ke Italia pada tahun 1983. Ia menyukai aspek romantis, nyaman dan komunal seperti cafe-cafe di Italia, dimana pelayannya bercakap-cakap dengan para pelanggan tetap sambil menyajikan kopi dengan cekatan, sebuah sentimen yang terus diresapinya sejak saat itu. Dia akhirnya sadar bahwa para pelanggan cafe di Eropa punya alasan untuk kembali ke cafe itu.

Schultz berpendapat bahwa Amerika telah siap dengan konsep cafe seperti itu, tapi para bos-nya malah menghabiskan uang untuk membeli toko kopi lain dan tak ada uang tersisa untuk mengembangkan idenya. Schultz begitu frustasi sampai-sampai ia berhenti dari Starbuck dan meluncurkan sebuah cafe bernama Il Giornale setelah bersusah payah mengumpulkan 3,8 juta dollar dari para investor. Di tahun yang sama, persis ketika Il Giornale mulai menapak kesuksesan, para bos Starbuck memutuskan untuk menjual bisnis mereka. Schultz melihat peluang untuk bersatu kembali dengan Starbuck yang dicintainya, dan ia maju dengan mengumpulkan 4 juta dollar dan berhasil mengambil alih di tahun berikutnya.

Karena kini telah menjadi menjadi nahkoda Starbuck, Schultz siap mengubah haluan bisnis ini. Ia mempertahankan para pencari kopi yang andal, para pemanggang kopi, mereka yang idealis dan berorientasi pada tim, namun ia juga menambahkan para eksekutif kaliber tinggi dari bisnis yang lebih mapan seperti Dell, Kodak, dan Pepsi. Ia ingin melibatkan orang-orang yang tepat sebelum bisnis membutuhkan mereka.

Tim eksekutif barunya membantu Schultz dalam mewujudkan rencana ambisiusnya bagi Starbuck. Dalam 4 tahun nilai bisnisnya berkembang dari 4 juta dollar menjadi 273 juta dollar ketika pertama kali masuk ke pasar saham pada 1992. Nilai saham meningkat 3.000 persen sejak debut awalnya. Dalam 10 tahun, Starbuck berkembang dari 17 gerai menjadi 1.412 dan kini lebih dari 12.000 gerai ada di 37 negara termasuk di Indonesia. Saat ini perusahaan memiliki surplus tunai dan bebas hutang dengan penjualan pada 2006 mencapai 7,7 milliar dollar. Ini salah satu ritel tersibuk di dunia, dengan kira-kira 30 juta pelanggan setiap minggunya dan 145.000 karyawan. Banyak pelanggan tetap mengunjungi Starbuck lebih dari 200 kali pertahun.

kami membagun sebuah merek, bukan sebuah kecanduan” tutur Schultz mengenai pertumbuhan pesat Starbuck-nya.

Schultz menjadi CEO panutan dengan kebijakan SDM dan lingkungan yang progressif, ia membayar pemasok kopinya dengan pantas, menawarkan fasilitas kesehatan, opsi kepemilikan saham (bahkan bagi pekerja part time) dan pelatihan berkualitas tinggi bagi para karyawannya (yang lebih ia suka sebut sebagai partner).

Disadur dari buku “100 Great Business Ideas” Karya Emily Ross & Angus Holland

1 komentar:

  1. Ternyata memang tidak lepas dari pengorbanan.

    Berarti idenya itu yang bikin mahal.

    BalasHapus